Sabtu, 24 April 2010

RUANG LINGKUP EKONOMI MIKRO DAN MAKRO

Ruang lingkup kajian ekonomi mikro adalah produsen dan konsumen. Tradisi berlandaskan teori Adam Smith.Ekonomi mikro dengan demikian memiliki ruang lingkup pada produsen dan konsumen. Produsen dan konsumen tersebut dalam dunia ekonomi yang nyata adalah idnividu-individu pada rumah tangga keluarga, masyarakat, atau perusahaan. Unit-unit ekonomi skala mikro tersebut harus berusaha mengalokasikan sumberdaya ekonomi yang terbatas untuk mampu mengoiptimalkan tingkat pemuasan kebutuhannya. Jadi melalui kajian/analisis ekonomi mikro dapat diperoleh kejelasan mengapa orangtua kamu harus mengatur dan membuat alokasi yang tepat dari pendapatan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan hidup keluargamu, termasuk mengalokasikannya untuk keperluan pembelian peralatan sekolahmu. Melalui kajian ekonomi mikro juga dapat diperoleh kejelasan mengenai adanya perbedaan tingkat upah yang diterima oleh seorang guru dengan seorang dokter.

Tradisi kajian ekonomi mikro berkembang pada masa berpengaruhnya ilmu ekonomi dari Adam Smith. Tentunya kamu masih ingat mengenai konsep invisible hand. Konsep tersebut menyatakan, bahwa keseimbangan perekonomian akan diatur oleh tangan tidak tampak, sehingga tidak diperlukan regulasi khusus dari pemerintah. Tangan-tangan tidak tampak adalah aktivitas pelaku-pelaku ekonomi mikro. Para pelaku ekonomi akan berusaha dengan sendirinya menyesuaikan perkembangan dan perubahan dalam aktivitas ekonomi ke arah keseimbangan bagi aktivitas mereka. Setiap pelaku ekonomi dengan demikian memiliki kebebasan untuk berusaha mencapai dan meningkatkan kesejahteraan.

Ruang lingkup kajian ekonomi makro adalah usaha masyarakat dan pemerintah dalam mengelola faktor produksi secara efisien. Landasan kajian ekonomi makro adalah teori Keynes Ekonomi makro memusatkan perhatian pada usaha masyarakat sebagai satu kesatuan untuk melakukan efisiensi dalam menggunakan faktor-faktor produksi yang tersedia. Peristiwa-peristiwa dan masalah-masalah ekonomi yang dipelajari merupakan suatu agregatif. Lingkup kajiannya dapat berupa pendapatan total dari suatu masyarakat, kesempatan kerja di sebuah negara, penyebab resesi di Indonesia, atau kondisi neraca perdagangan sebuah negara pada akhir tahun. Cakupan ekonomi makro dengan demikian merupakan suatu kesatuan dari perusahaan, rumah tangga, tingkat upah dan harga, dan pendapatan dalam skala makro. Jika digunakan suatu perumpamaan apabila kajian ekonomi mikro adalah pada cara Andi sebagai siswa SMA Gembala Baik dalam menggunakan uang jajannya, maka kajian ekonomi makro adalah perilaku seluruh siswa SMA Gembala Baik dalam menggunakan uang jajannya.

Tradisi teori ekonomi makro bersumber dari Keynes. Tradisi kajian ini timbul sebagai reaksi terhadap kegagalan tradisi ekonomi Adam Smith dalam menjelaskan timbulnya resesi, pengangguran, kemiskinan, dan masalah kegagalan proses pembangunan ekonomi. Dalam tradisi ini, kedudukan negara/pemerintah sebagai regulator perekonomian justru ditonjolkan. Kajian ekonomi terutama dilakukan pada tingkat negara dan juga sangat didominasi oleh kebijkan yang dibuat negara. Sehingga melalui cara ini sering terjadi kekeliruan penafsiran bahwa toeri makro ekonomi adalah kajian tentang ekonomi negara. Jelas pandangan ini keliru, negara/pemerintah hanyalah salah satu aktor ekonomi yang memang cukup penting kedudukannya dalam menghasilkan regulasi untuk mengatasi masalah dan beban sosial akibat perubahan ekonomi.

Masalah yang dianalisis dalam ekonomi mikro adalah:

Interaksi di pasar barang.

Tingkah laku penjual dan pembeli

Interaksi di pasar faktor-faktor produksi

Masalah yang dianalisis dalam ekonomi makro adalah:

Pengeluaran agregatif dalam perekonomian.

usaha mencapai kesempatan kerja penuh tanpa inflasi

Kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi pengangguran dan inflasi.

SPIRITUALISME UNTUK MENGENAL TUHAN

1. Jika kalian menganut sebuah agama tetapi tanpa Cinta Tuhan, maka mereka yang tidak menganut sebuah agama tetapi memiliki Cinta Tuhan adalah lebih baik.

2. Cinta terhubung dengan hati, ketika Nama Tuhan Allah disinkronkan dengan detak jantung, itu kemudian berjalan melalui darah ke seluruh otot, mencapai ruhruh (di dalam tubuh) dan membangkitkan mereka. Kemudian ruh-ruh tersebut bergerak aktif dan pergi menuju Cinta Tuhan

3. Nama Tuhan dalam bahasa apapun layak atas penghormatan, tetapi Nama asli Tuhan dalam bahasa semit adalah Allah. Bahasa semit adalah bahasa entitas langit, dengan Nama dalam bahasa tersebut (Allah) para malaikat menyebut Tuhan dan juga nama setiap nabi.

4. Siapapun yang dengan keihklasan mencari Tuhan, di darat maupun di laut juga layak atas penghormatan.

5. Banyak Adam datang ke dunia ini pada saat bersamaan dan di tempat-tempat berbeda. Semua Adam dibuat di dunia dari tanah liat dunia kecuali Adam terakhir yang dikubur di Arab. Dia adalah satu-satunya yang dibuat di surga dengan tanah liat dari surga pula. Dengan pengecualian atas Adam ini para malaikat tidak membungkukdi hadapan Adam-Adam lain. Setan menjadi musuh para keturunan Adam ini.

6. Ada tujuh tipe entitas dalam tubuh manusia. Mereka terhubung dengan lingkup langit yang berbeda. Mereka terhubung dengan surga yang berbeda dan lebih jauh terhubung dengan fungsi yang berbeda dalam tubuh manusia. Jika entitas-entitas ini diperkuat dengan cahaya maka mereka menyerupai manusia yang mereka tempati dan melakukan perjalanan ke banyak tempat pada saat yang bersamaan. Mereka dapat melakukan perjalanan ke perkumpulan para santa dan nabi dan bahkan berbicara dengan Tuhan dan melihat Tuhan.

7. Setiap manusia memiliki dua agama. Pertama adalah agama tubuh yang lenyap setelah kematian. Kedua adalah agama jiwa yang telah ada sejak awal waktu, Cinta Tuhan. Dengan agama ini manusia dimuliakan.

8. Keunggulan atas semua agama adalah Cinta Tuhan dan keunggulan atas semua tipe ibadah adalah melihat Tuhan.

9. Sebagai informasi yang menyinggung tentang asal manusia, binatang, tumbuhan dan alam dunia. Tipe entitas apa yang telah ada sebelum perinta Tuhan”Jadilah.” Siapa anjing yang dimuliakan sebagai Hazrat Qitmir dan akan pergi ke surga? Siapa mereka yang menyatakan keyakinan mereka di awal waktu?

FILSAFAT PENCARIAN TUHAN LEWAT AKAL

Semua manusia itu atheis.

Tepatnya, kita semua pernah jadi atheis. Paling tidak, pada dan untuk suatu saat, yaitu di masa-masa pranatal, bayi atau kanak. Ketika peranti dan daya nalar belum sepenuhnya berkembang, jangankan memikirkan keberadaanNya; memikirkan keberadaan sesuatu yang agak hangat di balik popok yang tiba-tiba lembab saja kita tidak kuasa.

Saat sistem tersebut mematang, barulah sedikit demi sedikit kita bisa mempertanyakan hal-hal mendasar tentang diri kita, tentang alam raya dan seisinya, tentang penciptaannya sekaligus tentang Sang Pencipta.

Dan pertanyaan ultimatnya adalah: (Ti)adakah Tuhan itu? Bisakah kita membuktikannya dengan akal?

Pertanyaan semacam ini sepertinya sudah dikekalkan sebagai pertanyaan; dia telah, sedang, dan akan terus dipertanyakan umat manusia di sepanjang jaman dan peradaban. Sudah sepantasnya Jurnal ini berkepentingan dengan isu yang satu ini, sebab namanya juga Akal dan Kehendak. Artikel ini saya tulis untuk mengawali pembahasan selanjutnya, kapan-kapan. Tujuan saat ini: memastikan posisi akal dengan setepat-tepatnya, terkait satu persoalan terpenting dalam hidup. Apakah pertanyaan-pertanyaan di atas akan tetap kekal tulisan ini selesai dibaca? Kita akan menjawabnya.

Salah satu argumen logis seputar keberadaan Tuhan menyatakan bahwa semua yang ada di alam pasti muncul lewat proses penciptaan. Proses ini dianggap telah terjadi dengan sendirinya, atau sebagai akibat dari rancangan yang disengaja.

Mereka yang percaya pada proses penciptaan mengatakan, semuanya berakhir pada konsep prima causa–atau konsep tentang keberadaan Sang Maha Pencipta dari segala pencipta dan segala penciptaan di seluruh alam raya. Orang yang dapat menerima konsep ini berpeluang besar untuk menerima keberadaan Tuhan. Sementara bagi yang tidak menerima, mereka harus terus mencari landasan keyakinan.

Selain itu, ada pula argumentasi yang menyatakan: Tuhan menciptakan alam semesta beserta segala isi dan isunya. Apa artinya ini? Artinya Ia tidak termasuk di/ke dalam alam semesta. Sebelum penciptaan dilakukan, Ia mestinya berada di luar alam raya. Lalu di manakah Ia pada saat itu? Dan di manakah Ia berada sekarang?

Kalau Tuhan dikatakan telah menciptakan semesta dari ketiadaan yang absolut, bukankah Tuhan termasuk dalam ketiadaan tersebut, sehingga ketiadaan tersebut tidak bermakna sebagaimana seharusnya? Jika orang menerima premis-premis minor tersebut, besar kemungkinan ia akan tiba pada premis akhir yang menolak keberadaan Tuhan. Namun, jika ia menolak premis-premis tersebut, tidak ada jalan lain, kecuali bahwa ia harus menunda kesimpulannya untuk sementara sambil mencari premis-premis logis lain yang harus tidak disangkalnya di muka.

Pertanyaannya: apakah theisme dan atheisme kita perlu dipergantungkan pada premis logis? Dalam hemat saya, ya. Karena ini tuntutan akal–berkah yang amat berharga dariNya (bagi yang percaya, tentunya). Asal mula penciptaan akal kita seharusnya, tanpa kontradiksi, berasal dari kekuatan yang menciptakan alam raya.

Mereka yang 1/2 percaya dan separuh tidak percaya mungkin akan bertanya: kalau Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, mengapa Ia yang juga Maha Mengetahui segala plot kejahatan, kebejatan dan kesengsaraan yang telah sedang dan akan dialami manusia, tidak melakukan apa-apa? Bagaimana menyikapi proposisi-proposisi logis yang provokatif semacam ini? Di mana tempat doa dalam konstruksi kejadian peristiwa-peristiwa?

Satu hal yang ingin saya tawarkan lewat tulisan ini adalah memahami dengan lebih baik karakteristik dan batas-batas kemampuan akal manusia. Dengan memahami sampai seberapa jauh akal kita dapat mencerna persoalan teologis ini, kita setidak-tidaknya dapat menghemat sumber daya.

Taruhlah pada titik ini, kita terima dulu tanpa analisis lebih jauh, bahwa akal manusia tidak dapat menjawab tuntas Rahasia Besar dalam hidup. Tapi tentunya kita punya rasa, punya kemampuan, punya pengalaman, dan punya peluang besar untuk mengetahui secara relatif lebih meyakinkan tentang batas-batas akal kita sendiri.

Sebab, kenapa tidak? Bukankah akal sesuatu yang ada pada kita? Jawaban terhadap batas-batasnya seharusnya tidak sesulit mempertahankan karya skripsi; dia seharusnya sesuatu yang amat intuitif.

Jadi, mari kita bahas batas-batas akal. Sebelumnya, kita perlu membuat batasan atau definisinya.

Apakah akal itu? Akal di sini saya definisikan sebagai kemampuan (faculty) kita untuk mencerna, mengenali, mengidentifikasi, serta memadukan semua materi (‘informasi’) yang kita peroleh melalui panca indra. Ini definisi obyektivis yang saya kira cukup aman dan dapat kita terima.

Akal mengintegrasikan persepsi kita dengan jalan membentuk abstraksi atau konsepsi, sehingga kita bisa meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kita dari tingkat yang tadinya semata perseptual (sebagaimana halnya yang dialami hewan), ke tingkat konseptual, yang hanya dapat dicapai oleh otak manusia. Metode yang dipakai akal kita dalam proses ini adalah logika. Logika adalah semacam seni mengidentifikasi sesuatu dengan cara yang tidak kontradiktif.

Terkait pemanfaatan akal dalam pencarian kebenaran dan pengetahuan, baik yang teologis maupun yang ilmiah, berikut ikhtisar singkat saya dari sudut pandang praksiologis (kajian tentang tindakan manusia):

• Jika kita merunut semua kejadian di alam raya, maka upaya ini akan membawa kita kepada proses regresi ad infinitum hingga ke titik awal terciptanya waktu.

• Sejauh akal dipergunakan, konsep kita tentang waktu tidak final. Kita tidak mampu menangkap awal ataupun akhir dari waktu itu sendiri. Dalam konteks ini, boleh dikatakan bahwa cara pandang kita terhadap dunia sudah ditentukan demikian (deterministik).

• Konsep kita tentang alam semesta hanya mampu memahami sesuatu yang ada, dan merunutnya kepada sesuatu yang telah ada sebelumnya; namun, kita tidak tahu penyebab terakhir yang bekerja di alam, sebab hal tersebut sudah melampaui kisaran akal kita dan berada di luar ranah pengetahuan manusia.

• Setiap pencarian kebenaran secara ilmiah, cepat atau lambat, pasti akan berakhir pada sesuatu yang harus diterima dianggap sebagai given (sudah dari sananya begitu). Penelitian ilmiah tidak akan mampu sepenuhnya memberi jawaban terhadap teka-teki alam raya. Pencarian pengetahuan pasti akan ‘mentok’. Dalam ilmu pengetahuan ilmiah, kementokan ini hanya bisa diterima dengan kejujuran sebagaimana adanya.

• Akal kita mampu menangkap hubungan/kondisi negasi; dengan demikian kita dapat memahami ketiadaan sebagai lawan dari keberadaan, atau non-eksistensi sebagai lawan dari eksistensi. Namun, akal tidak mampu menangkap negasi yang sifatnya absolut. Ini berlaku bagi apapun; hal ini sudah berada di luar pemahaman akal. Gagasan tentang pemunculan sesuatu dari ketiadaan, misalnya, atau gagasan tentang adanya awal yang absolut, tidak mampu dikonfirmasi atau ditolak oleh akal kita.

• Akal kita juga tidak mampu memberi makna absolut yang obyektif terhadap terminologi ciptaan akal kita sendiri, semacam: sempurna, absolut, atau Maha. Sejak semula peristilahan ini adalah problem linguistik akibat keterbatasan sistem konvensi bahasa manusia itu sendiri dan/atau akibat universalisme subyektivitas nilai di dalam manusia. Dengan demikian, akal kita tidak mampu mencerna adanya sesuatu yang berasal dari ketiadaan yang lalu memengaruhi alam semesta dari luar (from without).

Dengan menyingkapkan batas-batas kemampuan akal kita seperti dinyatakan di atas, meskipun serba singkat dan terbatas, posisi akal kita terkait pertanyaan-pertanyaan ultimat seputar ketuhanan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

Akal manusia tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan ultimat tersebut di atas. Seandainya kesimpulan ini keliru, yang langsung berarti bahwa akal mampu menjawabnya, maka seluruh penduduk dunia saat ini semuanya akan meyakini keberadaan Tuhan sebagai fakta empiris sebagaimana keberadaan matahari di atas sana; atau justru sebaliknya. Logika adalah bahasa universal, sebagaimana seluruh manusia di bumi ini menerima bahwa 1+1=2. Atau harus menolak identitas semacam A=non-A.

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa logika semata tidak mampu menggugurkan ataupun mengukuhkan inti dari ajaran-ajaran teologis. Ini bukan serangan terhadap akal ataupun logika. Pengerahan akal melalui logika bermanfaat untuk telah, sedang dan akan terus menyingkap berbagai kekeliruan dalam perumusan maupun penyimpulan persoalan teologis tersebut, di samping juga membongkar ribuan atau bahkan jutaan mitos, sihir, takhayul, dan berbagai praktik supranatural lainnya.

Keterbatasan atau ketidakmampuan akal dalam menangkap sesuatu tidak dengan sendirinya menegasikan keberadaan sesuatu tersebut. (Selama ribuan tahun manusia tidak mengenal adanya bakteri yang telah menyebabkan begitu banyak kematian manusia. Ketidaktertangkapan bakteri sebagai konsep maupun secara indrawi tidak meniadakannya.)

Keterbatasan akal manusia dalam memahami hal-hal fundamental tersebut jelas meninggalkan wilayah abu-abu yang luas menganga. Mungkin ini ruang yang cocok bagi pemanjatan doa-doa oleh para “Pemilik Teguh” (meminjam bait Bung Chairil Anwar). Yang pasti, atas dasar konsistensi, ruang eksklusif tersebut tidak dapat diakses oleh mereka yang menolak percaya.

Dengan demikian, apakah pertanyaan-pertanyaan ultimat yang sepertinya telah dikekalkan di atas, masih tetap kekal? Jawabannya adalah nah!

PUISIKU

==========================================================
Kusulam rantai itu di atas peluh
Peluh dingin yang menghujan dari ketakutanku
Kicau Petir
Ombak
Dan burung
Tapi tetap ku acuh
Ku tanggal yang selalu kurapatkan d hatiku
Terus menjejak
Demi mawar
Cinta
Dan dirimu...

CARA MENCEGAH DAN MENGOBATI TIPES (TYPHUS)

Tyhpus adalah penyakit infeksi akut usus halus. Nama lain typhus adalah typhus abdominalis. Penyebabnya adalah kuman Salmonella Typhi. Penularan S. Typhi terjadi melalui mulut oleh makanan yang tercemar. Sebagian kuman akan dimusnahkan dalam lambung oelh asam lambung. Sebagian lagi msuk keusus halus, mencapai jaringan lemfe dan berkembang biak. Kuman-kuman selanjutnya masuk ke jaringan beberapa organ tubuh, terutama limpa,usus dan kandung empedu. Demam pada typhus disebabkan karena S, tyhpi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen (menimbulkan panas) pada jaringan yang meradang.



Patologi


Kelainan patologik utama di usus halus, terutama di usus halus bagian distal (bawah). Pada minggu pertama pernyakit terjadi hyperplasia (pembesaran sel-sel) plaks Peyer, disusul minggu kedua terjadi nekrosis (pembususkan) dan dalam minggu ketiga ulserasi plaks peyer dan selanjutnya dalam minggu keempat penyembuhan ulkus (luka-luka) dengan meninggalkan sikatriks (jaringan perut). Ulkus berbentuk lonjong dengan sumbu memanjang sejajar dengan sumbu usus.


Hati membesar dengan infiltrasi limfosir, zat plasma dan sel mononuclear, serta tedapatnekosis fokal. Sistem retiku loendotelial menunjukkan hyperplasia dan kelenjar-kelenjar mesenterial dan disertai pembesaran limpa.



Gambaran Klinis


Masa tunas penyakit typhus berlangsung 10 sampai 14 hari. Gejala yang timbul amat bervariasi. Gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian. Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut. Pada umumnya yaitu demam,nyeri kepala, pusing, nyeri otot, tidak nafsu makan, mual, muntah, obstipasi (diare ), perasaan tidak enak diperut, batuk. Pada pemeriksaan fisik hanya ditemukan suhu badan meningkat. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, denyut jantung relative lambat, lidah yang khas (kotoran ditengah, tepid an ujung merah dan tremor/bergetar, hati membesar, limpa membesar, gangguan mental bisa koma atai psikosis.


Reaksi widal adalah suatu reaksi pengendapan antara antigen dan antibody (aglutinin). Agglutinin yang spesifik terdapat pada serum penderita penyakit typhus. Maksud reaksi widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang disangka menderita penyakit thypus.



Komplikasi yang mungkin timbul


1.Komplikasi intestinal

a.Perdarahan usus

b.Usus pecah (perforasi)

c.Lumpuhnya usus halus (ileus paralitik)


2.Komplikasi ekstra-intestinal

a.komplikasi kardiovaskuler seperti trombosit, renjatan sepsis.

b.Komplikasi darah seperti anemi hemolitik

c.Komplikasi paru seperti pnemoni

d.Komplikasi hati dan kandung empedu berupa radang hati dan kolesistitis (radang kandung empedu)

e.Komplikasi ginjal : glomerulone phritis

f.Komplikasi tulang : arthritis, osteomielitis

g.Komplikasi neuropsikiatrik seperti meningitis, polyneuritis.


Pencegahan


Untuk pencegahan penyakit typhus dapat dibagi dalam :

1.Usaha terhadap lingkungan hidup

-Penyediaan air minum yang memenuhi syarat

-Pembuangan kotoran manusia yang higenis

-Pemberantasan lalat

-Pengawasan terhadap rumah-rumah makan dan penjual-penjual makanan


2.Usaha terhadap manusia

-Imunisasi

-Menemukan dan mengawasi carrier typhoid

-Pendidikan kesehatan kepada masyarakat


Penggunaan Tanaman Obat untuk mengatasi penyakit Thypus


Selain beberapa usaha pencegahan diatas, jika sudah terjadi penyakit perlu dilakukan pengobatan. Pengobatan medis konvensial sudah umum dilakukan utnuk mengatsi ganguan thypus. Namun disisi lain obat herbal dapat dijadikann sebagai suatu pilihan untuk kesembuhan pasien. Beberapa tanaman obat sepetri Sambiloto, Bidara Upas, rumput mutiara dan temulawak dapat digunakan untuk membantu mengatasi penykait thypus. Herbal tersebut mempunyai fungsi penurun panas, anti radang, meningkatkan kekebalan, menghilangkan racun dan melancarkan peredaran darah.


Tanaman obat yang digunakan :


1. Sambiloto (Andrographis paniculata)


Tanaman ini mempunyai fungsi penurun panas /demam, selain sebagai antiracun dan antibengkak. Cukup efektif untuk mengatasi infeksi dan merangsang phagocytosis dan meningkatkan kekebalan tubuh seluler. Bagian tanaman ini diolah menjadi obat berbentuk kapsul. Cara pengunaannya : 3 x 1 kapsul (pagi, siang, sore ) 1 jam sebelum makan.


2. Bidara Upas (Merremia mammosa)


Tanaman ini mempunyai fungsi sebagai anti ardang dan juga mengurangi rasa sakit (analgesic) serta menetralkan racun. Bagian tanaman ini diolah menjadi obat berbentuk kapsul. Cara pemakaian : 3 x 1 Kapsul / hari.


3. Rumput Mutiara


Tanaman ini mempunyai fungsi sebagai penghilang panas dan anti radang, selain itu juga berperan dalam mengaktifkan peredaran darah. Bagian tanaman ini diolah menjadi obat berbentuk kapsul. Cara pemakaian: 3 x 1 kapsul/hari.


4. Temulawak


Tanaman ini mempunyai sifat bakteriostatik dan berfungsi meningkatkan kekebalan tubuh dan anti inflasma (pembengkakan). Bagain tanaman ini diolah menjadi obat berbentuk kapsul. Cara pemakaian : 3 x 1 kapsul / hari.


Selamat mencoba...

BIOGRAFI KAHLIL GIBRAN (1883-1931)

Kahlil Gibran lahir pada tanggal 6 Januari 1883 di Beshari, Lebanon. Beshari sendiri merupakan daerah yang kerap disinggahi badai, gempa serta petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang nantinya banyak mempengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam.

Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran pindah ke Boston, Amerika Serikat. Tak heran bila kemudian Gibran kecil mengalami kejutan budaya, seperti yang banyak dialami oleh para imigran lain yang berhamburan datang ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Bairut, di mana dia belajar di Madrasah Al-Hikmat (School of Wisdom) sejak tahun 1898 sampai 1901.

Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Tirani kerajaan Ottoman, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.

Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan 2 pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu.

Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, "Spirits Rebellious" ditulis di Boston dan diterbitkan di New York, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang meyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronite. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.

Masa-masa pembentukan diri selama di Paris cerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena TBC.

Gibran segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena TBC. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran dan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan's Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Gibran dapat meneruskan karier keseniman dan kesasteraannya yang masih awal.

Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.

Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di New York Gibran bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis.

Sebelum tahun 1912 "Broken Wings" telah diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografinya.

Pengaruh "Broken Wings" terasa sangat besar di dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama "Broken Wings" ini dipersembahkan untuk Mary Haskell.

Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun-tahun berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di Lebanon, Gibran menjadi seorang pengamat dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat Syria yang tinggal di Amerika.

Ketika Gibran dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredup. Pierre Loti, seorang novelis Perancis, yang sangat terpikat dengan dunia Timur pernah berkata pada Gibran, kalau hal ini sangat mengenaskan! Disadari atau tidak, Gibran memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan Barat.

Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, "The Madman", "His Parables and Poems". Persahabatan yang erat antara Mary tergambar dalam "The Madman". Setelah "The Madman", buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah "Twenty Drawing", 1919; "The Forerunne", 1920; dan "Sang Nabi" pada tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di Lebanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922.

Sebelum terbitnya "Sang Nabi", hubungan dekat antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima Florance Minis.

Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca "Sang Nabi". Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di New York, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran.

Gibran menyelesaikan "Sand and Foam" tahun 1926, dan "Jesus the Son of Man" pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, "Lazarus" pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan "The Earth Gods" pada tahun 1931. Karyanya yang lain "The Wanderer", yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain "The Garden of the Propeth".

Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hati dan TBC, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent's Hospital di Greenwich Village.

Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran.

Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Ma Sarkis, sebuah biara Carmelite di mana Gibran pernah melakukan ibadah.

Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, "Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku."

SEJARAH PENCIPTAAN BENDERA "MERAH PUTIH"

Bila kita melihat deretan bendera yang dikibarkan dari berpuluh bangsa di atas tiang, maka terlintas di hati kita bahwa masing-masing warna atau gambar yang terdapat di dalamnya mengandung arti, nilai dan kepribadian tersendiri, sesuai dengan riwayat sejarah bangsa itu masing-masing. Demikian halnya dengan Sang Merah Putih bagi bangsa Indonesia, warna merah dan putih mempunyai arti yang sangat dalam, sebab kedua warna tersebut tidak begitu saja dipilih dan dibuat secara tiba-tiba, melainkan melalui proses sejarah yang sama lamanya dengan sejarah perkembangan bangsa Indonesia.


1.Menurut sejarah, bangsa Indonesia memesuki wilayah Nusantara ini ketika terjadi perpindahan orang-orang Austronesia sekitar 6000 tahun lalu datang ke Indonesia Timur dan Barat melalui tanah semenanjung dan Philipina. Pada zaman itu manusia mempunyai cara penghormatan atau pemujaan terhadap matahari dan bulan. Matahari dianggap sebagai lambang warna merah dan bulan sebagai lambang warna putih. Zaman itu disebut juga zaman Aditya Candra, Aditya berarti matahari dan candra berarti bulan. Penghormatan dan pemujaan tidak saja di kawasan Nusantara namun juga di seluruh kepulauan Austronesia, di samudera Hindia dan Pasifik.

Sekitar 4000 tahun yang lalu terjadi perpindahan kedua yaitu masuknya orang Indonesia kuno dari Asia Tenggara dan berbaurlah dengan pendatang yang terlebih dahulu masuk ke Nusantara. Perpaduan dan pembauran inilah yang kemudian melahirkan keturunan yang sekarang kita kenal sebagai bangsa Indonesia.

Pada Zaman itu ada kepercayaan yang memuliakan zat hidup atau zat kesaktian bagi setiap makhluk hidup yaitu Getah-Getih. Getah-Getih yang menjjiwai segala apa yang hidup sebagai sumbernya berwarna merah dan putih. Getah tumbuh-tumbuhan berwarna putih dan Getih (bahasa Jawa/Sunda) berarti darah berwarna merah, yaitu zat yang memberikan hidup bagi tumbuh-tumbuhan, manusia dan hewan. Demikian menurut kepercayaan yang terdapat di kepulauan Austronesia dan Asia Tenggara. Dari kepercayaan ini maka warna merah dan putih menjadi warna keagungan, warna pujaan.


2.Pada permulaan tahun Masehi selama dua abad lamanya rakyat di kepulauan Nusantara ini mempunyai kepandaian membuat ukir-ukiran atau pahatan dari kayu, batu dan lain sebagainya, yang kemudian ditambah dengan kepandaian yang mendapat pengaruh dari kebudayaan Dong Song dalam membuat alat-alat dari logam terutama dari perunggu dan besi. Salah satu hasil yang terkenal ialah pembuatan genderang besar dari perunggu yang disebut nekara dan tersebar hampir di seluruh Nusantara. Di pulau bali genderang ini disekut nekara bulan pajeng yang dalam pura. Pada nekara tersebut diantaranya terdapat lukisan orang menari dengan hiasan bendera dan umbul-umbul dari bulu burung. Demikian juga di gunung Kidul sebelah selatan Yogyakarta terdapat kuburan berupa waruga (peti mati dari batu) dengan lukisan bendera merah putih berkibar di belakang seorang perwira menunggang kerbau, seperti yang terdapat di kaki gunung Dompu.

Kedua bendera tersebut diperkirakan usianya lebuh tua dari zaman perunggu. Pada petilasan waruga di dalamnya terdapat manik-manik dari tanah berwarna merah dan putih. Pada petilasan tugu di Jawa Barat dari raja Purnawarman yang bertahta di kerajaan Tarumanegara yang waktu itu berkembang agama hindu, terdapat sebuah lukisan yang menceritakan kebesaran raja dengan kalimat-kalimat yang menyebutkan “dwaja” untuk pertama kali dikenal di Nusantara. Adapun arti “dwaja” yang berasal dari bahasa sansekerta ialah tanda, lambang, bendera atau pataka seperti juga halnya umbul-umbul, tunggul dan lain sebagainya yang terdapat di kaki candi Borobudur.


3.Pada abad VII di Nusantara ini terdapat beberapa kerajaan, di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan pulau-pulau lainnya yang pada hakikatnya baru merupakan kerajaan dengan kekuasaan terbatas, satu sama lainnya belum mempunyai kesatuan wilayah. Baru abad VIII terdapat kerajaan yang wilayahnya meliputi seluruh Nusantara yaitu kerajaan Sriwijaya yang berlangsung sampai abad XII. Salah satu peninggalannya ialah candi Borobudur, dibangun pada tahun 824 M dan pada salah satu dindingnya terdapat tulisan Pataka di atas lukisan tiga orang pengawal membawa bendera merah putih sedang berkibar. Kata dwaja atau pataka sangat lazim dipergunakan dalam kitab Jawa kuno atau kitab Ramayana. Gambar pataka atau bendera yang terdapat di candi Borobudur, oleh seorang pelukis Jerman dilukiskan dengan warna merah putih. Pada candi Prambanan di Jawa Tengah juga terdapat lukisan Hanoman (kera berbulu putih) terbakar ekornya yang melambangkan warna merah (api). Hal tersebut sebagai peninggalan sejarah di abad X yang telah mengenal warna merah putih.

Prabu Erlangga, digambarkan sedang mengendarai burung besar, yaitu burung Garuda yang juga dikenal sebagai burung merah putih. Demikian juga pada tahun 898 sampai 910 Raja Balitung yang berkuasa untuk pertama kalinya menyebut dirinya dengan gelar Garuda Muka. Maka sejak masa itu warna merah putih maupun lambang Garuda telah mendapat tempat di hati rakyat Indonesia.


4.Kerajaan Singasari yang berdiri setelah kerajaan Kediri dari tahun 1222 sampai 1292, mengalami kemunduran. Raja Jayakatwang dari Kediri saat melakukan pemberontakan melawan kerajaan Singasari di bawah tampuk Raja Kertanegara sudah menggunakan bendera merah putih, tepatnya sekitar tahun 1292. Pada saat itu tentara Singasari sedang dikirim ke Semenanjung Melayu atau Pamelayu. Jayakatwang mengatur siasat mengirimkan tentaranya dengan mengibarkan panji-panji berwarna merah putih dengan gamelan kea rah selatan Gunung Kawi. Pasukan inilah yang kemudian berhadapan dengan pasukan Singasari, padahal pasukan Singasari yang terbaik dipusatkan untuk menghadang musuh di sekitar Gunung Penanggungan. Kejadian itu tertulis dalam suatu piagam yang dikenal dengan nama Piagam Butak. Butak adalah nama Gunung tempat ditemukannya piagam tersebut, terletak di sebelah selatan kota Majakerta. Pasukan singasari dipimpin oleh R.Wijaya dan Ardaraja (anak Jayakatwang dan menantu Kertanegara). R.Wijaya memperoleh hadiah sebidang tanah di desa Tarik, 12 km sebelah timur kota Majakerta.

Berkibarlah warna merah putih sebagai bendera pada tahun 1292 dalam Piagam Butak yang kemudian juga dikenal sebagai Piagam Merah Putih, namun masih terdapat salinannya. Pada buku Paraton ditulis tentang runtuhnya Singasari serta mulai dibukanya Kerajaan Majapahit dan pada zaman itu pula terjadinya perpaduan antara Ciwaisme dan Budhisme.


5.Demikian perkembangan selanjutnya pada masa jayanya Majapahit, menunjukkan bahwa putrid Dara Jingga dan Dara Perak yang dibawa oleh tentara Pamelayu juga mengandung unsur warna merah dan putih, (jingga = merah, perak = putih). Tempat Raja Hayam Wuruk bersemayam, pada waktu itu keratonnya disebut juga keraton merah putih, sebab tembok yang melingkari kerajaan itu terdiri dari batu bata warna merah dan lainnya diplester warna putih. Mpu Prapanca pengarang buku Negarakertagama menceritakan tentang digunakannya warna merah putih pada upacara kebesaran raja Hayam Wuruk. Kereta pembesar-pembesar yang menghadiri pesta, banyak dihiasi warna merah putih, seperti yang dikendarai oleh putri Raja Lasem. Kereta putrid Daha digambari buah Maja warna merah, atas dasar putih, maka dapat disimpulkan bahwa zaman Majapahit warna merah putih sudah merupakan warna yang dianggap mulia dan diagungkan.

Salah satu peninggalan Majapahit ialah sebuah cincin merah putih yang menurut ceritanya sebagai penghubung antara Majapahit dengan Mataram. Sebagai kelanjutan, dalam keraton Solo terdapat panji-panji peniggalan Kyai Ageng Tarub turunan Raja Brawijaya yaitu raja Majapahit terakhir. Panji-panji tersebut berdasar kain putih dan bertuliskan Arab Jawa yang digaris atasnya memakai warna merah. Hasil penyelidikan panitia kepujanggaan Yogyakarta berkesimpulan antara lain nama bendera itu adalah Gula Kelapa, dilihat dari warna merah dan putih. Gula, warna merah, artinya berani, dan kelapa, warna putih, artinya suci.


6.Di Sumatera Barat menurut sebuah Tambo yang telah turun temurun hingga sekarang ini masih sering dikibarkan bendera dengan menggunakan tiga warna. Yaitu hitam mewakili golongan penghulu atau penjaga adat. Kuning mewakili golongan alim ulama’. Sedangkan merah mewakili golongan hulubalang. Ketiga warna itu sebenarnya merupakan peninggalan zaman kerajaan minang pada abad XIV yaitu Raja Adityawarman. Juga di Sulawesi di daerah Bone dan Sopeng dahulu dikenal Waromporang yang berwarna putih yang disertai umbul-umbul berwarna merah di kiri dan kanannya. Bendera tersebut tidak saja berkibar di daratan, tetapi juga di samudera, di atas tiang armada Bugis yang terkenal.

Bagi masyarakat Batak terdapat kebiasaan memakai ulos semacam kain yang khusus ditenun dengan motif tersendiri. Nenek moyang orang batak menganggap ulos sebagai lambang yang akan mendatangkan kesejahteraan jasmani dan rohani serta membawa arti yang khusus bagi yang menggunakannya. Dalam aliran animisme Batak dikenal kepercayaan monoteisme yang bersifat primitif, bahwa kosmos merupakan kesatuan tritunggal, yaitu Benua Atas (benua ginjang) yang dilambangkan warna merah danputih, Benua Bawah (benua toru) yang dilambangkan warna hitam. Ketiga warna itu banyak kita jumpai pada barang-barang yang suci atau pada hiasan-hiasan rumah adat. Demikian pula pada ulos terdapat tiga warna dasar yang tiga tadi yaitu warna hitam sebagai warna dasar sedangkan warna merah dan putih sebagai hiasan atau motifnya.

Di beberapa daerah Nusantara ini terdapat kebiasaan yang hampir sama, yaitu kebiasaan memakai selendang sebagai pelengkap pakaian kaum wanita. Ada kalanya pemakaian selendang tersebut ditentukan pemakaiannya pada setiap upacara-upacara, dan sebagian besar dari motif-motifnya memakai warna merah dan putih.


7.Ketika terjadi perang Diponegoro pada tahun 1825-1830, di tengah-tengah pasukan Diponegoro yang beribu-ribu juga terdapat kibaran bendera merah putih, demikian juga di lereng-lereng gunung dan desa-desa yang dikuasai pangeran Diponegoro banyak terlihat kibaran bendera merah putih.

Ibarat gelombang samudera yang tak kunjung reda, perjuangan rakyat Indonesia sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, putra-putra Indonesia yang dipimpin oleh Sultan Agung dari Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja. Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Pangeran Antasari, Pattimura, Diponegoro dan banyak lagi para putra Indonesia yang berjuang untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, sekalipun pihak penjajah dan kekuatan asing lainnya berusaha menindasnya, namun semangat kebangsaan terpadamkan. Hambatan dan rintangan silih berganti, tiada suatu kekuatan pun yang dapat menghambat berkibarnya bendera bangsa Indonesia di bumi Nusantara ini.

Pada abad XX perjuangan rakyat Indonesia makin terarah dan menyadari akan adanya persatuan dan kesatuan perjuangan menentang kekuatan asing, kesadaran berbangsa dan bernegara mulai menyatu dengan timbulnya gerakan kebangsaan Budi Utomo pada tahun 1908 sebagai salah satu tonggak sejarah. Kemudian pada tahun 1922 di Yogyakarta berdiri sebuah perguruan nasional Taman Siswa di bawah pimpinan Suwardi Suryaningrat yang kemudian dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Perguruan Taman Siswa pada waktu itu telah mengibarkan bendera merah putih dengan latar dasar warna hijau yang tercantum dalam salah satu lagu antara lain : “dari barat sampai ke timur, pulau-pulau Indonesia, nama kamu sangatlah masyhur dilingkungi merah putih”. Itulah makna bendera yang dikibarkan perguruan Taman Siswa.

Ketika terjadi perang aceh, pejuang-pejuang aceh telah menggunakan bendera perang umbul-umbul dengan warna merah putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari dan bintang serta beberapa ayat suci Alqur-an.

Para mahasiswa yang teegabung dalam Perhimpunan Indonesia yang berkedudukan di Negara Belanda pada tahun 1922 juga telah mengibarkan bendera merah putih yang ditengahnya bergambar kepala kerbau, pada kulit buku yang berjudul Indonesia Merdeka. Buku ini membawa pengaruh bangkitnya semangat kebangsaan untuk mencapai Indonesia merdeka.

Demikian seterusnya pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia di bawah pimpinan Ir.Soekarno yang bertujuan mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Partai tersebut mengibarkan bendera merah putih yang ditengahnya bergambar banteng.

Kongres pemuda pada tahun 1928 merupakan detik yang sangat bersejarah dengan lahirnya “Sumpah Pemuda”. Satu keputusan sejarah yang sangat berani dan tepat, karena kekuatan penjajah pada saat itu selalu menindas segala kegiatan yang bersifat kebangsaan. Sumpah Pemuda tersebut tidak lain adalah tekad untuk bersatu, karena persatuan Indonesia merupakan pendorong ke arah tercapainya kemerdekaan. Semangat persatuan tergambar jelas dalam “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia” yang berbunyi :

Pertama :

KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA

Kedua :

KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA

Ketiga :

KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA.

Pada kongres tersebut untuk pertama kalinya digunakan hiasan merah putih tanpa gambar atau tulisan, sebagai warna bendera kebangsaan, dan untuk pertama kalinya pula diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia raya.

Pada saat kongres pemuda berlangsung, suasana merah putih telah berkobar di dada peserta, hal ini dibuktikan dengan panitia kongres menggunakan “kokarde” (semacam tanda panitia) dengan warna merah putih yang di pasang di dada kiri. Demikian juga pada dada anggota padvinder atau pandu yang ikut aktif dalam kongres menggunakan dasi berwarna merah putih.

Perlu disadari bahwa Polisi Belanda (PID) termasuk tokohnya Van Der Plass sangat ketat memperhatikan segala gerak-gerik peserta kongres, sehingga panitia sangat berhati-hati serta membatasi diri demi kelangsungan kongres. Suasana merah putih yang diciptakan para pandu menyebabkan pemerintah penjajah melarang dilangsungkanya pawai pandu, khawatir pawai bisa berubah menjadi semacam penggalangan kekuatan massa.

Pada masa kedudukan jepang di Indonesia, pengibaran bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya dilarang, karena penjajah mengetahui pasti hal tersebut dapat membangkitkan semangat kebangsaan untuk merdeka. Barulah pada tahun 1944 lagu Indonesia Raya dan bendera Merah Putih diizinkan berkibar lagi setelah kedudukan Jepang terdesak. Bahkan pada tahun itu juga dibentuk panitia yang bertugas untuk menyelidiki lagu kebangsaan serta arti dan ukuran bendera merah putih.

Detik-detik yang sangat bersejarah adalah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah pembacaan teks proklamasi dikibarkanlah untuk pertama kalinya bendera merah putih yang tidak saja sebagai bendera kebangsaan, tetapi juga sebagai bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian disasahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam UUD 1945 pasal 35 dalam siding Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang pertama. Bendera yang berkibar pertama kali di Pegangsaan Timur 56, kemudian kita kenal dengan nama Sang Saka Merah Putih ditetapkan sebagai bendera pusaka.

Pada tanggal 29 September 1950 berkibarlah Sang Merah Putih di depan gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia oleh Badan Dunia.

Sang Merah Putih oleh bangsa Indonesia dijadikan bendera kebangsaan dan bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia. Warna merah putih telah ribuan tahun menjadi warna pujaan yang sangat dimuliakan, sesuai dengan kepercayaan yang dianut pada waktu itu dan telah mendarah daging.

Bendera Indonesia ada persamaannya dengan bendera Kerajaan Monako, yaitu sebuah negara kecil di bagian selatan Prancis, namun masih terdapat perbedaannya. Bendera Kerajaan Monako ditengahnya berlambang kerajaan dengan ukuran perbandingan 2,5:3. Sedangkan bendera Indonesia telah ditetapkan dalam PP No. 40 tahun 1958, berukuran yang terbesar dengan perbandingan 2:3 (lebar 2 meter dan panjang 3 meter). Kerajaan Monako menggunakan bendera bukanlah sebagai lambang tertinggi, sebab sebuah negara kerajaan, sedangkan bagi Indonesia bendera Merah Putih mrupakan lambang tertinggi. Kemudian Kerajaan Monako bukan anggota PBB. Ada lagi negara yang menggunakan bendera merah dan putih yaitu Polandia, tetapi letak warnanya berbeda. Bendera Polandia adalah Putih Merah.


8.Sejak kapan bangsa-bangsa di dunia ini mulai memakai bendera sebagai identitas bangsanya?. Berdasarkan catatan sejarah dapat dikemukakan bahwa awal mula orang menggunakan bendera dimulai dengan memakai lencana atau emblem, kemudian berkembang menjadi tanda untuk kelompok atau satuan dalam bentuk kulit atau kain yang dapat berkibar dan mudah dilihat dari jauh. Berdasarkan penelitian terhadap fosil-fosil benda kuno ada petunjuk bahwa bangsa Mesir telah menggunakan bendera pada kapal-kapalnya, yaitu sebagai batas dari satu wilayah yang telah dikuasainya dan dicatat sebagai daftar. Demikian juga pada bangsa Cina di zaman kaisar Chou tahun 1122 sebelum Masehi.

Bendera itu terikat pada tongkat dan bagian puncaknya terdapat ukiran atau totem, di bawah totem inilah diikatkan sepotong kain yang merupakan dekorasi. Bentuk semacam itu didapati pada kebudayaan kuno yang terdapat di sekitar Laut Tengah. Hal itu diperkuat juga dengan banyaknya istilah bendera yang terdapat dalam kitab Injil. Bendera bagi raja tampak sangat jelas, sebab pada puncak tiang terdapat sebuah simbol dari kekuasaan dan penguasaan suatu wilayah takluknya. Ukiran totem yang terdapat pada puncak tongkat atau tiang mempunyai arti magis yang ada hubungannya dengan dewa-dewa. Sifat pokok bendera terbawa sampai sekarang ini.

Pada abad XIX tentara Napoleon I dan II juga menggunakan bendera dengan memakai lambang garuda di puncak tiang. Perlu diingat bahwa tidak semua bendera mempunyai arti dan ada hubungannya dengan religi. Bangsa Punisia dan Yunani menggunakan bendera sangat sederhana yaitu untuk kepentingan perang atau menunjukkan kehadira raja, opsir atau pejabat tinggi negara. Bendera Yunani umumnya terdiri dari sebuah tiang dengan kayu salib atau lintang yang di puncaknya terdapat bulatan. Dikenal juga dengan perkataan vaxillum (kain segi empat yang pinggirnya berwarna ungu, merah atau biru) digantung pada kayu silang di atas tombak atau lembing.

Ada lagi yang dinamakan labarum, ialah kain sutera bersulam benang emas dan biasanya khusus dipakai raja Bangsa Inggris menggunakan bendera sejak abad VIII. Sampai abad pertengahan terdapat bendera yang menarik perhatian yaitu bendera gunfano yang dipakai bangsa Germania, terdiri dari kain bergambar lencana pada ujung tombak dan dari sinilah lahir bendera Perancis yang bernama “Fonfano”.

Bangsa Viking hampir sama dengan itu, tetapi bergambar naga dan burung, dikibarkan sebagai tanda menang atau kalahdalam suatu pertempuran yang sedang berlangsung. Mengenai lambang-lambang yang menyertai bendera banyak juga corak ragamnya, seperti bangsa Rumania pernah memakai lambang burung dari logam, dan Jerman kemudian memakai lambang burung Garuda, bangsa Cina menggunakan bendera yang bersulam gambar ular naga.

Tata cara pengibaran dan pemasangan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung, kibaran bendera putih sebagai tanda menyerah (dalam peperangan) dan sebagai tanda damai, rupanya pada saat itu sudah dikenal. Dan etika ini sampai sekarang masih digunakan oleh beberapa negara di dunia ini.

SEJARAH PENCIPTAAN NAMA "INDONESIA"

Berikut ini adalah sejarah asal kata nama Indonesia. Bila kita belajar sejarah hanya sebatas hafalan dan nilai bagus saja, maka tidak akan ada gunanya, hanya nyempit-nyempitin ruang di dalam pikiran kita saja. Tetapi bila kita ditanamkan rasa cinta kepada tanah air, maka sejarah akan mempengaruhi seluruh karya kita. Ini yang tidak dilakukan oleh sistem pendidikan kita. Seperti kalau kita jatuh cinta pada seseorang, pasti akan setengah mati mengetahui sejarah dia dan asal usulnya. Bila belajar sejarah seperti itu, tentunya akan sangat mengasyikkan. Berkarya bukan lagi dengan pikiran, tetapi dengan rasa. Karena rasa menciptakan keunikan dan kreatif.


Mudah-mudahan artikel berikut ini dapat membuka wawasan kita tentang Indonesia dan kemudian dapat terpancing untuk lebih lanjut mencari tahu sendiri. Sehingga seluruh kerja dan karya kita tidak lagi hanya meniru, tetapi merupakan suatu persembahan kreatif kepada diri sendiri, negara dan masyarakat dunia.


Asal Usul Nama Indonesia


Pada zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.


Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. "Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)" kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah. Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah "Hindia".


Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air kita memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).


Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini ku rang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.


Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950),

yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.


Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, "Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.


Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.


Nama Indonesia


Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.


Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia at au Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: … the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.


Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.


D alam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.


Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the ! Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!


Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalamEncyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.


Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.


Makna politis


Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.


Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.


Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."


Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.


Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.


Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda" untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.


Dirgahayu Indonesiaku!

SEJARAH PENCIPTAAN LAMBANG "GARUDA PANCASILA"

Sultan Hamid II, Perancang Lambang Negara


Sepanjang orang Indonesia, siapa tak kenal burung garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila)? Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu?


Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913. Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab --walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak --keduanya sekarang di Negeri Belanda.


Syarif menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.


Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II.


Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalbar dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.


Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.


Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA.


Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar - karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.


Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat marah.


Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara.


Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.


Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.


Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.


Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".


Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.


Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.


AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang ini.


Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.


Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.


Tanggal 20 Maret 1940, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.


Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak.


Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.

INTERNET VIA KABEL LISTRIK


Bagi masyarakat perkotaan, internet sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Pekerjaan rumah dan tugas siswa dapat dikerjakan di internet. Apabila kita menggunakan internet di warnet kita harus mengunakan biaya mahal. Apalagi jika kita berlangganan sendiri di rumah, besar sekali biaya yang harus dikeluarkan.

Ada kabar menggembirakan bagi pengguna internet, yaitu internet via kabel listrik. Dengan menggunakan internet via kabel listrik maka akan lebih murah. Teknologi ini disebut komunikasi kabel litrik (powrline communication).

Anak perusahaan PLN yang bernama PT. Indonesia Comnets Plus (PT Icon Plus) telah menyediakan internet via kabel listrik.

Cara kerja teknologi ini adalah dengan memindahkan sinyal-sinyal data frekuensi tinggi melalui jaringan kabel, sama dengan yang dipakai untuk membawa arus listrik ke rumah-rumah pelanggan.

Sinyal data sebenarnya tidak dapat melalui trafo atau alat penurun tegangan yang terdapat di gardu-gardu listrik. Oleh karena itu dibutuhkan alat yang dapat memadukan sinyal data dengan arus listrik tegangan rendah. Alat ini disebut unit pengkonsentrasi (concentrator unit).

Internet via kebel listrik juga membutuhkan modem. Modem pada sistem komunikasi kabel listrik disebut terminal jaringan (network termination). Selain itu, pengguna di rumah-rumah juga harus menyediakan router. Router adalah alat yang berfungsi untuk menyaring sinyal data dan memasukkannya ke peralatan elektronik, termasuk kmputer untuk internet atau telepon.

Sistem komunikasi kabel listrik termasuk komunikasi pita lebar (broadband) karena mampu mengirim data dengan kecepatan 2 hingga 4,5 MB per detik. Dengan demikian kecepatan internet via kabel listirk lebih cepat 15-30 kali daripada ISDN (Integrated Services Digital Network) atau jaringan komunikasi digital dunia.

Teknologi komunikasi kabel listrik telah dirintis sejak dasawarsa 1940an. Teknologi ini digunakan perusahaan listrik untuk mengukur pemakaian listrik dari jarak jauh dan mengendalikan peralatan di area jaringan mereka. Pada saat ini, di Amerika mulai merintis penggunaan kabel listrik untuk memberikan layanan akses bagi pelanggan listrik.

Berdasarkan uji coba penggunaan internet via kabel listrik yang telah dilakukan oleh PT Icon Plus ternyata penggunaan internet via kabel listrik terbukti aman bagi pengguna dan kemampuannya juga tidak perlu diragukan. Internet ini juga aman dari kemungkinan peralatan tersambar petir karena beroperasi pada waktu hujan.

Penggunaan internet via kabel listrik tidak menyebabkan lonjaknya biaya listrik, pelanggan hanya menambah biaya Rp10.000 per bulan.